Sabtu, 02 September 2017

BELAJAR BERDAGANG, YUK


Berdagang adalah profesi yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang pedagang. Istri beliau, Khadijah Radhiyallahu Anha juga seorang pedagang yang sukses. Sebagian besar shahabat juga berprofesi sebagai pedagang. Dan beliau memuji serta mendoakan pedagang. Lalu, bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan anak-anak kita? Seberapa pentingkah belajar berdagang bagi anak? Mungkinkah anak usia dini kita ajarkan berdagang? Marilah kita lihat ulasan berikut.

Berdagang dan Anak Usia Dini
Perdagangan adalah satu urusan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kesehariannya dapat dipastikan bahwa anak melihat proses perdagangan itu berlangsung. Tatkala ibunya mengajaknya ke pasar atau ke warung untuk berbelanja. Atau sekedar ia memanggil tukang jajan yang lewat di depan rumah. Mereka tidak hanya melihat namun terlibat dalam kegiatan perdagangan. terlebih apabila orang tua si anak memang berprofesi sebagai seorang pedagang. Sebelum kita membicarakan lebih lanjut tentang fungsi dan manfaat berdagang bagi Anak Usia Dini, marilah kita cermati bersama, bagaimana karakteristik anak Usia Dini.
Anak Usia Dini, menurut pendapat beberapa ahli pendidikan, adalah anak-anak yang berada dalam kisaran usia hingga tujuh tahun. Meskipun ada yang berpendapat bahwa usia dini itu di bawah antara 5-6 tahun, namun mereka sepakat bahwa Golden Age atau Usia Keemasan berlangsung hanya hingga usia 4-5 tahun. Yaitu masa yang sangat menentukan pembentukan karakter dan dasar-dasar keilmuan bagi seorang anak. Masa dimana seluruh aspek perkembangan anak, berkembang dengan sangat pesat, yang meliputi 3 aspek kemampuan dasar yaitu motorik (fungsi gerak tubuh), kognitif (fungsi otak), bahasa. Dan 2 aspek pembentukan perilaku yang meliputi nilai moral agama dan sosial-emosional.
Cara yang paling tepat untuk memberi pembelajaran anak pada masa ini adalah melalui learning by doing atau  hands on learning. Rasa ingin tahu mereka yang besar akan terpenuhi bila kita memberi kesempatan kepada mereka untuk memberdayakan seluruh indera mereka. Melihat, mengamati, mencoba dan menyentuh langsung setiap obyek yang menarik perhatian mereka akan memuaskan keingintahuan mereka. Mereka juga belajar dengan cara meniru atau mengimitasi apa yang mereka lihat atau dengar.
Proses perdagangan yang dikemas dalam bentuk permainan dalam komunitas yang cukup besar, akan sangat menarik perhatian mereka. Anak akan terkesan dengan kegiatan ini. Dan akan menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak untuk memaknai perdagangan sebagai suatu proses kegiatan yang menyenangkan. Serta memberikan stimulasi bagi mereka untuk mengembangkan diri dengan cara yang sesuai dengan karakteristik dan tingkat perkembangan mereka.

Fungsi Bermain Perdagangan Bagi Anak Usia Dini
Coba kita amati anak-anak yang sedang dalam rentang usia dini saat bermain. Apa yang kita lihat saat kita menyediakan di area bermain mereka seperangkat permainan untuk berdagang? Secara alamiah, mereka akan memainkan peran berdagang, sesuai dengan tahap usia dan pengalaman mereka. Anak yang terbiasa diajak ke warung atau berbelanja di pasar, akan berbeda perilakunya dengan anak yang terbiasa diajak ke mal. Dan akan berbeda pula dengan anak yang orang tuanya memiliki warung atau pedagang. Anak seorang pedagang akan terlihat sangat luwes melayani pembeli, saat mereka mengambil peran sebagai pedagang dalam permainannya. Bagaimana mereka membungkus makanan, bagaimana mereka menghitung dan memberikan uang kembalian, dan sebagainya.
Dari gambaran diatas, dapat kita temukan beberapa hal dari fungsi bermain berdagang pada anak. Aspek-aspek perkembangan anak akan terasah melalui bermain perdagangan, antara lain sebagai berkut :
1.      Fungsi motorik
Dengan belajar berdagang, anak harus aktif bergerak, memberdayakan motoriknya untuk membeli atau menjual dagangan. Membungkus makanan atau mengambil lembaran memerlukan keterampilan motrik halus dan fokus mata. Berjalan menuju tempat perdagangan, mengangkat dan menjinjing belanjaan, adalah sebagian dari gerakan motorik kasar. Dan sebagainya.
2.      Fungsi kognitif
Dalam berdagang, anak belajar memahami konsep hitungan seperti menghitung jumlah uang secara sederhana, mengenal mata uang, belajar konsep sebab akibat, belajar untuk berfikir logis dan memecahkan masalah.
3.      Fungsi bahasa
Saat bermain perdagangan, secara otomatis anak akan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan bahasa yang dipahami oleh teman-temannya
4.      Fungsi sosial-emosional
Dalam permainan ini, anak harus dapat menahan diri untuk memerankan fungsi sosial emosionalnya dengan baik. Mereka harus antri untuk berbelanja. Atau mau mengalah dan menerima peran sebagai pedagang atau pembeli. Mau berbagi tugas dan pearalan permainan. Atau bahkan membantu teman.
5.      Fungsi nilai moral keagamaan
Peran guru atau orang tua dalam menanamkan nilai-nilai dan adab berdagang, sehingga mereka dapat langsung menerapkannya dalam permainan. Seperti menjadi pedagang dan pembeli yang amanah. Tidak boleh mengurangi timbangan. Berbuat kasih sayang dan sopan saat berdagangan, dan sebagainya.
Dalam permainan ini, peran guru atau orang tua adalah sebagai motivator, fasilitator dan penengah yang obyektif saat terjadi perselisihan, dan sebagai teman bermain. Sehingga anak menemukan hikmah dan pelajaran dalam permainannya.

Tips Melaksanakan Bermain Perdagangan dengan Anak Usia Dini
Ada beberapa tips yang perlu Anda terapkan saat ingin melaksanakan permainan perdagangan pada Anak Usia Dini sebagai berikut :
1.      Ajarkan pada anak untuk memahami cara-cara berdagang seperti yang diajarkan oleh Rasulullah. Seperti berdagang dengan jujur dan amanah. Tidak boleh mengurangi timbangan. Pedagang dan pembeli harus bermuamalah dengan ramah dan sikap yang santun. Pembelajaran ini bisa dilakukan melalui membacakan buku cerita tentang cara Rasulullah  dan para shahabat berdagang.
2.  Rencanakan untuk membuat  permainan perdagangan secara riil bersama anak. Misalnya membuat pasar tradisional, berdagang sebagai pedagang asongan atau bentuk perdagangan yang lain. Ajarkan pada anak konsep mata uang dan nilai uang. Gunakan uang yang sebenarnya, bukan uang mainan, saat mengadakan proses perdagangan ini.
3.    Libatkanlah anak untuk mempersiapkan segala keperluan untuk berdagang. Seperti apa yang akan dijual, peralatan apa yang dibutuhkan. Gunakan peralatan yang sederhana. Arahkan anak untuk menentukan barang dagangan yang menarik bagi mereka. Kalau perlu, libatkan anak dalam mengetahui jumlah anggaran.
4.      Buatlah juga pembagian tugas untuk anak. Ada yang berperan sebagai penjual dan pembeli. Beri pengertian bahwa semua tugas itu penting. Penjual tidak akan berarti bila tanpa pembeli. Dan pembeli tidak akan mendapatkan barang kebutuhan bila tanpa penjual.
5.    Undanglah kakak kelas di SD, apabila di sekolah Anda memiliki jenjang SD. Atau undanglah orang tua/wali murid untuk datang sebagai pembeli atau sekedar sebagai pengamat.
6.      Tetapkan aturan permainan dan libatkan anak dalam membuat peraturan tersebut. Ingatkan anak untuk selalu mentaati peraturan yang sudah mereka buat sendiri dan disepakati bersama.
7.  Setelah acara selesai, mintalah anak untuk membantu berbenah sesuai dengan kemampuan mereka. Jangan terlalu memaksakan pada anak untuk membenahi sepenuhnya. Karena mereka juga sudah kelelahan dengan kegiatan perdagangan ini.
8.    Ajaklah anak untuk melakukan evaluasi kegiatan  yang sudah dilaksanakan. Evaluasi ini dapat berupa tanya jawab tentang barang apa saja yang terjual, siapa saja yang datang untuk membeli, atau bahkan berapa banyak uang yang berhasil dikumpulkan.
9.   Ajaklah anak untuk membuat laporan kegiatan singkat dalam bentuk tertulis pada pertemuan berikutnya. Baik itu berupa gambar, menjawab kuisioner yang disampaikan guru, ataupun memberikan keterangan lisan kemudian guru membantu mengaktualisasikan dalam bentuk tulisan. Hal ini merupakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mengecek daya ingat anak dan kesan anak terhadap kegiatan yang telah dilakukan.

Pelaksanaan bermain perdagangan bersama anak ini sebaiknya dilakukan di luar ruangan. Akan lebih berkesan apabila kegiatan ini dilaksanakan satu hari pembelajaran, dimana dalam satu hari tersebut, anak hanya melakukan permainan perdagangan tanpa ada kegiatan pembelajaran yang lain. Jadi, persiapan sebaiknya dilakukan sehari sebelumnya. Sehingga anak merasa puas bermain dan menemukan sesuatu yang sangat berarti bagi perkembangan mereka selanjutnya.

Semoga dengan permainan perdagangan yang terencana dengan baik seperti tersebut diatas, akan menjadi langkah awal bagi Anak Usia Dini untuk menyerap ilmu perdagangan. Agar kelak menjadi pedagang yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. 


Note :
Tulisan ini telah diterbitkan di majalah Anak Sholeh
edisi Januari 2017
sengaja Penulis upload di Blog 
agar dapat dibaca oleh lebih banyak orang dan lebih bermanfaat 

Kamis, 31 Desember 2015

KESIAPAN SEKOLAH

Di negara kita, pada umumnya, seseorang memasuki pendidikan sekolah mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Setelah melewati TK A dan TK B, diharapkan anak siap untuk mengikuti pendidikan di SD. Dengan kesiapan itu, anak mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil mengikuti pendidikan pada jenjang selanjutnya dibandingkan anak-anak yang belum memiliki kesiapan.

Pernyataan di atas bukanlah tanpa alasan karena Lefrançois (2000) telah menyatakan bahwa peserta belajar yang siap untuk belajar hal-hal yang lebih spesifik akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih banyak yang kaya dibandingkan yang belum siap.

Istilah kesiapan (readiness), dalam kamus Webster didiskripsikan sebagai:
Kesiapan mental atau fisik untuk bertindak atau menerima pengalaman yang tangkas/pantas, cakap, atau terampil.  Immediate availability (Gredler,1992).

Dalam bahasan selanjutnya, istilah kesiapan dan kematangan sekolah mempunyai pengertian yang sama, hal ini didasari oleh pendapat Piaget (dalam Gredler,1992) yang menyatakan kedua istilah ini mempunyai pengertian yang sama karena kesiapan tidak akan pernah dapat tercapai tanpa kematangan.

Untuk bisa dikatakan siap, tentu saja ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Ada beberapa pandangan dan tokoh yang memberikan sumbangan tentang kriteria kematangan sekolah, diantaranya adalah:

David Ausubel (1962) mendiskripsikan kesiapan sekolah sebagai kondisi tertentu yang tergantung pada pertumbuhan dan kematangan serta pengalaman sosial anak. Menurutnya kesiapan sekolah adalah suatu kondisi di mana: 

  • Anak dapat belajar dengan mudah tanpa ketegangan emosi. 
  • Anak mampu menujukkan motivasinya karena usahanya untuk belajar memberikan hasil yang sesuai.

Strebel (dalam Mangunsong dkk, 1993) Mengemukakan tujuh kriteria kematangan sekolah sebagai berikut:

  • Perkembangan fisik yang sudah matang. 
  • Derajat ketergantungan terhadap orang tua, terutama sejauh mana keterikatan anak kepada ibunya. 
  • Pemilihan tugas sendiri sesuai dengan minatnya. 
  • Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan maupun yang dipilih sendiri. 
  • Ketepatan prestasi kerja, sehubungan dengan konsentrasi dan perhatiannya terhadap pelajaran. 
  • Keteraturan dalam berpikir daan bertingkah laku secara sosial, dalam bekerja kelompok dan teman-temannya. 
  • Perkembangan mental yang dapat diukur dengan tes inteligensi dan tes kematangan sekolah.

Hal-hal yang mempengaruhi kesiapan seseorang dalam belajar adalah kematangan fisik, perkembangan keterampilan berpikir, dan adanya motivasi. Untuk mengukur kesiapan, guru dapat mengukur melalui perkembangan emosi dan intelektual anak. Selain itu juga guru perlu mengerti bagaimana anak belajar dan motivasi belajar anak (Lefrançois, 2000)

Dengan kata lain, kesiapan sekolah merujuk kepada kondisi dimana anak telah memiliki kemampuan untuk belajar dan terlibat dalam lingkungan sekolah tanpa merasa tertekan.

Pada pendapat lain dikatakan bahwa karakteristik anak siap sekolah tampak pada beberapa aspek minimal yaitu:
  • Kesiapan fisik. Motorik kasar dan halus sudah berkembang baik, 
  • Kondisi kesehatan yang menunjang proses belajar. 
  • Kesiapan kognitif, misal: mengenal warna dan bentuk, memahami objek benda. 
  • Kesiapan bahasa, misal: sudah paham kata-kata, bisa berkomunikasi. 
  • Kesiapan emosi, misal: sudah bisa berpisah dari orangtua, mampu mengendalikan emosi. 
  • Kesiapan sosial, misal: mau berinteraksi dengan teman sebaya, bersikap positif terhadap orang lain.
  • Memiliki pengetahuan umum 
  • Memiliki keahlian/practical life (kecakapan hidup) seperti misalnya cara membersihkan diri, memakai baju sendiri. 
  • Pemahaman terhadap aturan

Yang penting diingat oleh orangtua adalah perkembangan setiap anak berbeda. Inteligensi hanya berperan kecil: anak pintar tidak menjamin anak siap bersekolah. Pola asuh yang benar dan sehat di rumah serta pendidikan di sekolah yang menyenangkan dan tidak membuat anak merasa tertekan, memegang peranan utama dalam perkembangan anak menuju kesiapan sekolah.

Kesiapan sekolah dapat dipelajari atau dibentuk, dalam hal ini keterlibatan orang tua sangat diperlukan untuk mempersiapkan anak masuk sekolah.


“No child becomes ready for school on their own”


sumber :


Selasa, 07 Juni 2011

CALISTUNG

Membaca, menulis dan berhitung atau biasa disingkat dengan CALISTUNG, sepertinya sudah tidak bisa lagi dipisahkan dari Pendidikan untuk Anak Usia Dini. Dari tahun ke tahun, masalah yang sama selalu muncul. Juga pertanyaan yang sama selalu ditujukan pada guru, penyelenggara sekolah atau praktisi Pendidikan Anak Usia Dini. Mengapa di sekolah ini anak saya hanya bermain? Kapan belajarnya? Kapan anak saya bisa membaca? Apakah sekolah ini akan menjamin anak saya bisa membaca? Begitulah kira-kira pertanyaan yang selalu muncul hampir di setiap saat. Membaca, menulis dan berhitung, seakan-akan menjadi satu-satunya hal terpenting dalam pendidikan bagi anak usia dini. Menjadi tolok ukur apakah satu lembaga pendidikan anak usia dini diminati orang tua atau tidak. Laris manis atau kekurangan murid. 

Orang tua sering tidak menyadari bahwa ada banyak kemampuan dalam aspek perkembangan anak yang harus dicapai. Sedangkan membaca, menulis dan berhitung hanyalah salah satu pencapaian dari sebuah pembelajaran yang langsung bisa terlihat. Hal ini seringkali menyulitkan posisi sekolah-sekolah untuk anak usia dini, mengingat adanya perbedaan persepsi antara lembaga pendidikan prasekolah (PAUD atau TK) dengan orang tua dan Sekolah Dasar.

Antara Fakta, Harapan dan Tuntutan

Periode 5 (lima) tahun pertama kehidupan anak sering disebut juga sebagai "Masa Keemasan (golden period) atau Jendela Kesempatan (window opportunity) atau Masa Kritis (critical period)" karena periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat pada otak manusia, masa yang sangat peka bagi otak anak dalam menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitarnya. Mengingat masa 5 tahun pertama merupakan masa yang  'relatif pendek'  dan tidak akan terulang kembali dalam kehidupan seorang anak. Karenanya, masa ini harus dimanfaatkan untuk membentuk anak menjadi anak yang berkualitas tinggi melalui berbagai kegiatan dan stimulasi.

Mengacu pada Tahap-tahap Perkembangan Balita, anak usia di bawah 5 (lima) tahun belum siap untuk belajar secara formal. Mereka masih butuh bermain sebagai sarana mereka untuk belajar tentang kehidupannya. Melalui permainan ini, seluruh kemampuan dasar mereka, seperti pembentukan karakter/akhlakul karimah, fisik, motorik, kognitif, sosial, emosional, bahasa, akan berkembang bila mendapatkan stimulasi yang benar. Mereka belum siap untuk duduk diam mendengarkan guru berbicara di depan kelas karena masa konsentrasi mereka masih sangat terbatas. (Rumus konsentrasi = usia anak X 1 menit). Setelah mengetahui rumus tersebut, kita dapat mengerti kalau mereka belum mampu untuk berdiam diri dalam jangka waktu lama. Sehingga akan sangat memberatkan kalau mereka dituntut harus belajar sebagaimana anak-anak dengan usia yang lebih matang. Bergerak, menyentuh, melihat, mendengar langsung adalah proses yang penting bagi balita untuk mempelajari sesuatu.

Bertolak belakang dengan tuntutan guru-guru serta penyelenggara Sekolah Dasar yang sangat menginginkan anak-anak TK yang mendaftar di SD mereka sudah mampu membaca, menulis dan berhitung. Alasannya, karena akan sangat merepotkan guru apabila anak didik mereka belum menguasai calistung. Mengingat kurikulum SD sudah sedemikian kompleks dan menuntut ritme yang cepat agar semua indikator pembelajaran bisa terlaksana seluruhnya. Tidak jarang pihak penyelenggara Sekolah Dasar mengadakan tes saringan untuk menjaring murid-murid yang sudah menguasai calistung. Akibatnya, orang tua murid menjadi sangat sibuk mempersiapkan anaknya menguasai calistung agar bisa diterima di SD favorit. Mereka tak segan-segan mengikutsertakan anak-anaknya dalam sebuah lembaga bimbel (bimbingan belajar) untuk menyelesaikan masalah tersebut. Atau memilih sekolah Taman Kanak-kanak yang mengajarkan calistung hingga putera-puterinya siap masuk SD. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, tidak sedikit lembaga pendidikan yang mengajarkan calistung dengan cara yang kurang tepat. Namun bagi orang tua, bagaimana prosesnya tidaklah penting. Apakah proses itu akan membuat anak terampas masa bermainnya atau tidak, bukan menjadi satu hal yang diperhitungkan. Yang terpenting, “Anakku bisa membaca dan diterima di SD Favorit”. Titik. Mereka tidak menyadari bahwa masa bermain yang terampas, kejenuhan karena terpaksa belajar yang belum saatnya, akan berdampak menurunnya prestasi belajar di kemudian hari. 

Perbedaan persepsi yang menimbulkan satu lingkaran yang harus diputus mata rantainya…

Kamis, 12 Mei 2011

Sentra Standar


Dari sekian banyak sentra yang dapat dikembangkan, ada standar minimal sentra-sentra yang diadakan dalam satu sekolah yang biasa dilakukan dan dapat merangkum semua kemampuan di satu sekolah, yaitu :
  • Sentra Balok
  • Sentra Bermain Peran
  • Sentra Seni
  • Sentra Bahan Alam
  • Sentra Persiapan 

Tujuan Umum Sentra
Tujuan umum yang akan dicapai oleh setiap sentra yaitu :
  • Anak mampu berkomunikasi dengan benar
  • Menumbuhkan kerjasama yang baik
  • Mengembangkan daya imajinasi dan fantasi anak
  • Mengembangkan rasa empati anak
  • Melatih anak menemukan sendiri sesuatu itu benar atau salah
  • Mengembangkan daya fikir anak


FILOSOFI SENTRA
Masing-masing sentra memiliki ciri khusus dan filisofi yang berbeda-beda, sebagai berikut :


Sentra Balok

  • Memberikan pengalaman dan pemahaman kepada anak tentang konsep bentuk tiga demensi
  • Memberikan pengalaman dan pemahaman kepada anak tentang konsep ruang tiga demensi melalui membangun dengan menggunakan balok
  • Melatih anak menemukan sendiri dan memahami konsep keseimbangan bangunan
  • Melatih anak memahami konsep wilayah bangunan
  • Melatih kemandirian, kepercayaan diri dan keberanian anak untuk memutuskan dan memecahkan masalah dalam membangun
  • Menanamkan konsep matematika terutama yang berkaitan dengan bentuk (termasuk menyortir, mengklasifikasikan benda)dan ruang tiga demensi
  • Melatih fisik dan motorik kasar anak dan rasa tanggung jawab untuk mengambil an merapikann kembali balok yang sudah digunakan untuk membangun

Sentra Bermain Peran

  • Melatih keberanian dan rasa percaya diri anak untuk mengaktualisasikan dirinya dalam permainan peran
  • Memberi kebebasan kepada anak untuk berekspresi memerankan suatu peranan atau karakter yang sudah pernah anak temui
  • Memberi rasa bahagia pada anak melalui permainan peran yang mereka ciptakan sendiri
  • Melatih motorik halus dan kasar anak melalui permainan-permainan yang ada di sentra
  • Memberi kesempatan pada anak untuk mengasah bakat dan minatnya terhadap sesuatu terutama yang berkaitan dengan peran
  • Melatih kemandirian dan tanggung jawab anak
  • Memberi kesempatan pada anak untuk memahami peran anggota keluarga
  • Melatih anak untuk menyortir benda (konsep matematika)


Sentra Seni & Kreatifitas 
  • Melatih motorik halus anak
  • Melatih anak untuk berkreasi dengan benda-benda, menciptakan bentuk benda yang baru
  • Melatih sosial dan bekerjasama dalam menciptakan sesuatu
  • Mengasah daya seni anak
  • Melatih anak untuk menuangkan imajinasinya menjadi satu karya nyata

Sentra Bahan Alam

  • Mendorong anak untuk bereksplorasi dengan bahan alam seperti air, pasir, tanah, biji-bijian, kayu, ranting, dll
  • Melatih motorik halus anak
  • Melatih koordinasi mata dan tangan anak yang dibutuhkan untuk kesiapan menulis
  • Merangsang syaraf taktil anak yang dibutuhkan untuk menulis
  • Melatih motorik kasar anak
  • Melatih kerjasama dan kemandirian anak

Sentra Persiapan
  • Mempersiapkan anak untuk mampu membaca, menulis dan berhitung dengan memperkuat pemahaman konsep membaca, menulis dan berhitung
  • Melatih kemampuan anak untuk membaca, menulis dan berhitung
  • Melatih motorik halus dan kasar anak
  • Melatih tanggung jawab, kerjasama dan kemandirian anak




Senin, 11 April 2011

Berani itu adalah...


SATU HARI DI SEBUAH Kelompok Bermain…

Seorang murid, Azzam, terjatuh. Dan ia menangis meraung-raung memanggil ibunya. Ibu gurunya datang  dan menanyakan apa yang telah terjadi. Melihat Azzam terluka dengan goresan kecil di lututnya, sang guru mencoba untuk membujuk Azzam. Namun Azzam tetap menangis meraung-raung. Hingga orang-orang yang mendengarnya merasa seakan-akan luka Azzam sangat parah.

“Sakit ya, Nak?” kata sang guru sambil membimbing Azzam, mengambil kapas dan obat untuk luka.

Sebelum kapas ditempelkan untuk membersihkan darah, raungan Azzam semakin mengeras.

“Azzam, Ibu lihat lukanya kecil kok, Ibu bersihkan dan obati, Insya Allah akan segera sembuh.”

Kata-kata bu guru tak juga membuat tangisan Azzam reda. Apalagi dia meronta-ronta tak mau diobati.

“Oke, kalau Azzam tidak mau diobati, baiklah.. tapi bu guru ingin Azzam dengarkan dulu bu guru. Dulu, Rasullah punya sahabat. Sahabat Rasulullah tersebut sedang sholat. Tiba-tiba ada musuh yang memanah sahabat tersebut hingga punggungnya terluka oleh panah. Darah mengucur. Banyaaak sekali… tapi dia tidak menangis. bahkan dia tidak merasakan sakitnya dan menyelesaikan shalatnya. Dia sahabat yang kuat dan berani.”

Suara tangis Azzam mulai terdengar pelan.
Melihat siasatnya mulai masuk ke hati Azzam bu Guru melanjutkan ceritanya dengan suara yang meyakinkan namun tetap lembut.

“Terus ada lagi sahabat yang lain. Waktu Rasulullah sedang berperang dengan orang kafir. Seorang sabahat berperang. Tangan kanannya memegang pedang. Seorang musuh memenggal tangan kanannya hingga terpotong. Tangan kirinya segera memegang pedang dan dia tetap berperang menggunakan pedangnya di tangan kirinya…”

Sampai di sini, Azzam menghentikan tangisannya.

“Bu guru tahu Azzam anak yang berani. Luka seperti ini, mah, keciiiilll… Sekarang Ibu boleh kan, mengobati lukanya…?”

Azzam mengangguk. Dan ternyata, cerita bu guru sudah menarik murid-muridnya yang lain. Tak sadar saat bercerita tadi, teman-teman Azzam yang lain mengerubuti mereka dan meminta agar cerita tersebut dilanjutkan...

Rabu, 09 Februari 2011

Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

Andaikata,
Cinderella tak memiliki sepatu kaca,
tapi hanya sandal jepit menghiasi kakinya..
dan tak mengenakan indahnya gaun pesta,
tapi hanya daster usang nan sederhana..
dan tak mengendarai kereta kencana
tapi hanya sepeda ontel yang  telah butut pula…
Apakah sang pangeran masih akan mencarinya ke seluruh pelosok negeri,
tuk dijadikan permaisuri?

**

Hemm… Pikiran iseng. Tapi justru dari pikiran iseng inilah perenungan itu dimulai.

**

Cinderella oh Cinderella..
Siapa yang  tak mengenalnya?
Tepatnya, Princess Cinderella dan teman-teman Princess yang lain. Princess Snow White, Princess Aurora atau Sleeping Beauty, Princess Ariel, Princess Belle dan Princess yang lain.

Coba simak buku-buku fairy tale tersebut, maka akan anda temui kesamaan tema dari kisah para Princess.

“… Alkisah… di satu tempat yang indah, hiduplah seorang gadis cantik yang baik hati. Ia adalah putri saudagar kaya, atau di lain kisah,  putri seorang raja…bla…bla…bla… dan seterusnya… dan seterusnya… Setelah melalui lika-liku cerita, maka akhirnya sang puteri diselamatkan oleh sang pangeran pujaan hati, yang  tampan rupawan, lalu menikah dan hidup bahagia di istananya...”

Illustrasi gambar yang bagus, kisah penuh impian. Khas cerita dari negeri dongeng. Puteri cantik, gaun indah, istana yang megah, pangeran tampan, peri yang baik hati… Menjadikannya makin menarik. 

Ah.. namanya juga fairy tale. Namanya juga dongeng. Dan semua serba matre, bertabur syirik pula..

Gadis-gadis kecil itu, yang duduk di bangku TK dan SD, demam Princess..!!!  Dan sepertinya, tak ada diantara mereka yang tak mengenal para Princess itu selain hanya sebagian kecil saja. Mereka berkhayal menjadi Princess Cinderella, atau princess lain yang sesuai dengan impiannya.

Mengapa?

Apa sih yang menarik dari kisah-kisah tersebut hingga membuat para gadis kecil tersebut tergila-gila? Rasa penasaran ini mendorong untuk terus mengamati dan mencermati. Setelah membaca dan “menghayati” semua kisah Princess tersebut, ternyata…

Lihat saja.

Cinderella adalah putri saudagar kaya yang disia-siakan oleh ibu tirinya. Dalam satu babak cerita, sang pangeran, mengundang semua gadis muda untuk menghadiri pesta dansa untuk memilih calon permaisuri. Ibu tiri melarang Cinderella untuk datang ke pesta tersebut. Karena dia memiliki dua anak gadis. Dia sadar kalau sebenarnya Cinderella lebih cantik dan lebih baik hati dari kedua puterinya.  Tentu saja. Dia tidak menginginkan Cinderella menjadi pesaing kedua puterinya. Dengan kehadiran dan bantuan sang peri pelindung, akhirnya Cinderella pun bisa pergi ke pesta dansa, dengan dandanan yang sangat fantastis. Sepatu Kaca, kereta kencana, gaun pesta yang indah. Tak ada satu pun diantara gadis-gadis yang hadir yang mampu menandinginya. Padahal semua itu hanya sihir yang akan hilang, kecuali sepatu kacanya, setelah lewat jam duabelas malam. Lalu bertemu pangeran pujaan hati, menikah dan tinggal di istana.

Lain lagi kisah Princess Snow White. “Cermin ajaib, siapa yang paling cantik di negeri ini?” Pertanyaan narsis seorang ibu tiri yang ditujukan pada cermin ajaib. Semula, cermin ajaib selalu menjawab bahwa dia adalah yang tercantik. Namun satu ketika, jawaban si cermin ajaib bukan lagi dirinya yang tercantik, melainkan Snow White. Kenyataan bahwa Snow White lebih cantik darinya, membuatnya murka. Maka dia pun melakukan tipu daya, untuk menyingkirkan Snow White. Mengetahui Snow White masih hidup di tengah sebuah hutan, mendorongnya untuk melakukan tipu daya yang lebih keji, menyamar sebagai seorang nenek yang sangat lemah dan butuh pertolongan. Berpura-pura memberikan apel sebagai ucapan  terima kasih. Namun ternyata apel tersebut beracun, hingga Snow White tertidur selamanya setelah memakannya. Begitupun dengan Princess Aurora alias Sleeping Beauty yang tertidur karena menyentuh jarum pintal si nenek sihir jahat. Dan sihir yang menimpa kedua putri itu musnah berkat peranan sang pangeran pujaan hati.

Dan Princess Ariel, wujud sebelumnya adalah Mermaid atau Putri Duyung yang tinggal di dasar samudera. Sementara di permukaan samudera, seorang pangeran sedang berjuang mempertaruhkan nyawa karena kapalnya pecah. Ditengah laut yang sunyi, hanya ada Princess Ariel yang datang menolongnya. Dan selanjutnya bisa ditebak. Mereka saling jatuh cinta! Setelah melalui pertempuran dengan nenek sihir laut, Ariel pun bisa berubah wujud menjadi manusia dan hidup di istana bersama sang Pangeran yang telah membantunya mengalahkan nenek sihir.

Atau Princess Belle, putri saudagar kaya dan bertemu pangeran buruk rupa, yang sebenarnya adalah pangeran tampan dari satu kerajaan, dan akhirnya, toh, berubah kembali tampan, dan sebagainya.. dan sebagainya..

Begitu memukau..

Semua itu dimanfaatkan oleh para pengusaha yang jeli untuk membuat gadis-gadis kecil korban mode tersebut makin tergila-gila. Mulai dari tas sekolah bergambar princess, sampul depan buku tulis, penggaris, pensil, bahkan sepatu kaca, sandal, scarf, handuk, sayap peri beserta tongkatnya, hingga asesoris lain seperti gelang, kalung, cincin, giwang, bandana, jepit, dan lain-lain yang bernuansa pink berlogo princess. Semua itu laris manis diserbu oleh gadis-gadis kecil yang terobsesi. Jadi barang koleksi yang berujung pada timbulnya persaingan diantara mereka. Siapa yang memiliki koleksi paling banyak, paling lengkap, paling baru, paling… 

Berburu dari mal ke mal akhirnya menjadi satu ritual untuk melengkapi koleksi. Dan menguras dompet orang tuanya, tentu, untuk hal yang sebenarnya penuh  dengan kemubaziran. Masya Allah…

Lihatlah. Di sederet loker peralatan sekolah anak-anak perempuan itu. Tas sekolah atau sepatu atau kaos kaki bisa dibilang sebagian besar bergambar princess. Paling tidak berwarna pink. Tidak berbeda jauh dengan koleksi anak-anak laki-laki yang tergila-gila dengan karakter film robot, silat atau yang sejenisnya beserta pesawat, mobil, juga atribut lainnya. Semakin bergengsi sekolah mereka, semakin tinggi taraf hidup orang tuanya, semakin glamour dan mengerikan persaingan mereka.

Kalau anak-anak kecil dari kelas rendah itu tergila-gila, siapa yang salah?

Anak-anak kecil itu, mereka tidak bersalah. Tapi kitalah yang salah. Kita tidak menyadari bahwa buku cerita dan tontonan mereka bisa berperan dalam membentuk karakter mereka. Mengarahkan mereka pada siapa mereka akan mengagumi, meneladani, mencontoh perilaku mereka.

Anak-anak yang dibesarkan dalam buaian mimpi semu. Ditambah pula, tontonan mereka sekarang ini. Film semacam Dora Emon, fairy tale yang diperankan Barbie, merupakan contoh tontonan yang dibumbui magic. Terkadang mereka juga ikut menikmati tayangan sinetron, yang hampir keseluruhan bertemakan senada dengan kisah fairy tale. Kaya, cantik, berebut harta benda atau wanita, saling fitnah, menghalalkan  segala cara. Sungguh jauh berbeda dengan kenyataan hidup yang sebenarnya. Betapa banyak orang miskin di sekitar kita. Akibatnya, mimpi mereka ya tentu saja menjadi orang kaya, tenar. Maka tidak mengherankan kalau menjadi artis adalah impian mereka. Jalan pintas untuk menjadi kaya dan tenar bak para Princess.  Dan bagi sebagian yang lain, mengharap-harapkan datangnya sang peri pelindung  yang akan menolong mereka atau datangnya keajaiban tanpa mau berusaha keras. 

Persaingan yang tidak sehat, jiwa-jiwa yang rapuh, tidak survive, materialistis. Indikasi ini sudah banyak terbaca, menjadi bagian karakter generasi muda yang sering kita saksikan di sekitar kita.    


Apa yang terjadi sekarang? Krisis idola, krisis keteladanan, krisis akhlak, dan krisis-krisis yang lain yang mengarah pada kehidupan yang semakin materialistis. Materi, dalam artian bahwa sekarang  yang dikejar hanyalah EKSISTENSI dari sesuatu. Sesuatu yang langsung bisa terindera oleh panca indera. Kekayaan, kekuasaan, kecantikan. Semua berlomba-lomba untuk itu. Sebagian dari kita sudah melupakan ESENSI dari sesuatu. Sesuatu yang lebih bersifat spiritual dan maknawi. Itulah sebagian dari dampak era “Cinderella”. Bukan menyalahkan Cinderella semata, karena Cinderella hanyalah sekedar istilah atau satu contoh kasus.  Tapi kitalah yang salah memaknai hidup. Parahnya, kesalahan memaknai hidup itu secara langsung maupun tidak, telah kita ajarkan pada anak-anak kita.

Mencermati lebih mendalam, sebenarnya cerita Princess itu tak sepenuhnya buruk. Ada nilai-nilai kebaikan juga di sana. Meskipun terkamuflase kalau tidak boleh dibilang  terkalahkan oleh glamournya illustrasi gambar dan jalinan cerita yang menghanyutkan. Hingga pesan moral yang baik itu justru terabaikan. Asalkan kita menyempatkan sebagian waktu kita untuk menemani putera-puteri kita membaca, menjelaskan pada mereka tentang norma baik buruk, Insya Allah pesan moral dari setiap cerita yang dibaca anak akan tersampaikan, sementara keglamouran itu bisa teredam.

Menjadi princess juga bukan hal yang salah. Kita bisa menyampaikan pada putera-puteri tercinta bagaimana prince atau princess yang sejati. Bahwa prince dan princess yang hakiki adalah yang memiliki bobot keimanan dan akhlaqul karimah yang berkualitas tinggi, cerdas, menghargai orang lain, survive, mandiri dan sebagainya. Bukan sekedar cantik jelita, kaya raya, bergaun indah, berkereta kencana dan sederet atribut materialis yang lain namun skillnya minimal dan akhlaknya mengkhawatirkan. 


Oh ya. Menjadi kaya raya juga bukan sesuatu yang salah kok. Bukan pula sesuatu yang diharamkan. Kalau kita membaca Sirah Sahabat, banyak diantara sahabat Rasulullah SAW yang kaya raya. Siapa yang tak kenal Abdurrahman bin ‘Auf yang barisan kafilah dagangnya menggetarkan bumi, binatang ternak dan kekayaannya yang lain yang tak terkira jumlahnya. Atau Utsman bin Affan, atau bunda Khadijah, seorang saudagar wanita yang sukses. Atau kakek Rasulullah, Abd Al Mutholib yang mengorbankan 100 ekor onta. Dan Rasulullah sendiri sebenarnya beliau adalah pemilik sekian hektar kebun korma di kota Madinah yang masih lestari hingga saat ini. Mereka kaya, namun tetap hidup bersahaja. Tidak menampakkan keglamouran. Juga membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Bernilai ibadah di hadapan Allah. Sedekah,  menyantuni orang miskin atau orang-orang yang lemah, untuk jihad fi sabilillah... Karena  pemilik kekayaan kelak akan ditanya, dari mana asalnya, dan untuk apa dibelanjakan. Karena mereka sangat meyakini bahwa sesungguhnya harta mereka tidak seberapa. Hanya Allah lah yang Maha Kaya. Hingga tiada berguna berbangga diri dengan harta yang dimiliki. Itulah yang seharusnya diteladani.

Saat  kita meluangkan waktu membaca buku cerita bersama putera-puteri tercinta, menjadi saat yang tepat untuk mengajarkan nilai-nilai yang Islami. Di saat-saat seperti inilah kita bisa menyelipkan pesan tentang siapa yang lebih pantas kita jadikan teladan. Selain mempererat hubungan kasih sayang antara orang tua dengan anak.

Dan buku-buku cerita Princess itu, hanya dijadikan sebagai bagian kecil dari daftar bacaan mereka. Sebagai selingan. Banyak buku yang seharusnya mereka ketahui dan mereka baca. Buku tentang Sejarah Nabi, suri tauladan sahabat, ensiklopedi, atau buku cerita karakter lain yang sekarang banyak beredar. Atau buku-buku yang bertema kisah inspiratif semacam Tetralogi Laskar Pelangi, misalnya, yang memberi inspirasi untuk berjuang dan survive. Bukan tidak boleh bermimpi.  Namun mimpi untuk memperjuangkan hak kejayaan seperti itu sangat perlu ditumbuhkan. Selama kita bisa membentengi anak-anak kita dengan akidah yang benar, pengaruh buruk buku-buku atau tontonan yang berakibat pada keteladanan yang keliru, Insya Allah masih bisa diatasi.

Itulah artinya bahwa buku itu jendela dunia, pembuka cakrawala, pembentuk pola pikir anak bangsa. Hingga kita harus selektif memilih buku yang akan kita gunakan sebagai media belajar. Karena  membaca itu harus. Allah SWT pun menyuruh kita untuk membaca, melalui  firmanNya:

“Iqra’ bismi Rabbikalladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra’ wa Rabbukal akram. Alladzi ‘allama bil qalam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam..”  (Q S. Al ‘Alaq : 1-5)
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan qalam. Dia yang mengajari manusia sesuatu yang tidak diketahui.”

Menurut tafsir, makna membaca yang terkandung dalam surat Al Alaq tersebut, bukan hanya buku yang harus kita baca. Tapi seluruh alam semesta ini beserta makhluk yang menghuninya, kita harus pandai-pandai membacanya. Agar kita mampu memaknai sesuatu, membaca esensinya, bukan hanya sekedar mengindera eksistensinya. Dan selanjutnya, makin mengimani Penciptanya.

Wallahu a’lam bishshowab

**

Senin, 24 Januari 2011

FILOSOFI SEKOLAH SENTRA

Program pembelajaran dengan sistem sentra didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak akan tumbuh dengan baik jika mereka dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Lingkungan yang dirancang secara cermat dengan menggunakan konsep kelas yang berpusat pada anak akan mendorong anak-anak bereksplorasi, memelopori dan menciptakan.  Guru menggunakan pengetahuan yang sesuai mengenai perkembangan anak untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, menyediakan bahan ajar dan juga menyusun tujuan yang sesuai bagi masing-masing anak, menanggapi minat anak, menghargai kelebihan-kelebihan dan kebutuhan setiap anak, menjaga keingintahuan alami yang dimiliki anak agar tetap hidup dan mendukung pembelajaran bersama.

Sekolah yang di setting dengan metode sentra memiliki kekhasan dalam hal pengaturan ruang belajar maupun managemen kelasnya.

Pengaturan ruang belajar di sekolah sentra, berbeda dengan sekolah yang menggunakan sistem klasikal yang seringkali kita temui. Sekolah Klasikal, menempatkan semua bahan ajar dalam satu kelas, dengan seorang atau dua orang guru yang mengajar serta bertanggung jawab untuk mengembangkan semua indikator kemampuan di satu kelas. Bila dalam satu sekolah ada beberapa kelas dengan jenjang yang sama, maka proses pembelajaran antar satu kelas dengan kelas yang lain mungkin akan memiliki beberapa perbedaan. Mengingat guru dari masing-masing kelas berbeda, memiliki gaya mengajar, standar pribadi serta pemilihan alat peraga yang berbeda. Sehingga memungkinkan kemampuan yang dicapai anak pun akan nampak perbedaannya. Sekalipun indikator dan target pembelajaran untuk satu sekolah sudah membakukan satu standar yang sama. Selain itu, apabila dalam satu sekolah memiliki beberapa kelas parallel, secara otomatis harus menyediakan alat peraga dengan jenis dan jumlah yang sama untuk setiap kelas parallel. Dengan demikian, kepemilikan alat peraga dari satu sekolah menjadi kurang efisien.

Sedangkan di sekolah sentra, pengaturan ruang belajarnya tersusun dalam beberapa sentra atau pusat kegiatan yang berisi berbagai macam bahan ajar bagi kebutuhan anak untuk bereksplorasi dan bermain. Pusat kegiatannya pun bervariasi antara satu kelas dengan kelas yang lain. Gambarannya, sekolah sentra lebih mirip dengan laboratorium-laboratorium di sekolah menengah. Namun jangan salah, sekolah sentra ini sesungguhnya tidak terlalu terpancang dengan dengan keberadaan ruang kelas. Hanya sentra tertentu yang membutuhkan ruangan yang cukup luas, seperti misalnya sentra balok dan sentra bermain peran. Bahkan ada sentra yang sangat baik bila ditempatka di luar ruangan seperti sentra eksplorasi atau sentra bahan alam. Beberapa sekolah bahkan tidak memiliki ruang untuk setiap sentra. Untuk memisahkan sentra satu dengan sentra yang lain, cukup dengan memasang loker-loker sebagai penyekat ruang sentra sekaligus sebagai lemari penyimpanan peralatan sentra. Kebutuhan akan meja dan kursi pun sangat minim. Hanya sentra persiapan, sentra seni dan kreatifitas yang kadang membutuhkan meja dan kursi. Itu pun tidak harus sejumlah anak yang hari itu belajar di sentra tersebut.

Setiap  pusat kegiatan yang berbeda tersebut, diampu oleh guru yang berbeda pula.  Hal ini akan memotivasi guru lebih fokus dalam mengembangkan setiap pusat kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Dari sisi anak, akan membuat dia beradaptasi dan bersosialisasi dengan banyak guru dengan karakter yang berbeda-beda. Hal ini sangat penting bagi perkembangan sosial anak. Dari sudut pandang penggunaan alat peraga pun akan lebih efisien karena masing-masing alat peraga akan ditempatkan dalam satu sentra tertentu sesuai fungsi dan tujuannya.

Dalam setiap harinya, anak akan belajar dengan cara berpindah dari satu sentra ke sentra yang lain (moving class). Dan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di setiap pusat kegiatan sesuai dengan jadwal belajar yang sudah dipersiapkan. Jadwal ini akan mengatur, ke sentra mana hari itu satu kelompok anak akan bermain. Pengaturan jadwal ini penting selain agar setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk menikmati sensasi belajar di setiap sentra, juga memberi rambu-rambu pada guru sentra untuk menyiapkan materi yang sesuai dengan kelompok anak yang akan masuk ke sentranya. Kelompok B, kelompok, A atau kelompok bermainkah yang akan belajar di sentranya hari itu? Maka sang guru pun harus menyiapkan materi ajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan karakteristik masing-masing kelas. Karena, kadang ditemui, misalnya, anak kelompok B1 dengan B2 memiliki karakteristik kelas yang berbeda. Dengan usia atau masa tahap perkembangan yang sama, mungkin kelompok B1 adalah kelas yang aktif sedang kelompok B2 memiliki karakteristik sebaliknya. Atau masing-masing memiliki percepatan belajar yang berbeda.

Kekuatan pelaksanaan sistem ini terletak pada konsistensi peraturan yang dibuat dan disepakati  murid, komunikasi yang produktif, di samping materi ajar yang terkonsep secara kreatif dan variatif. Uniknya, peraturan-peraturan itu dibuat dan disepakati oleh murid-murid sendiri. Mengapa begitu? Menurut pengamatan dan pengalaman, peraturan yang dilontarkan oleh anak, dengan bahasa yang mereka buat sendiri, akan lebih mereka pahami dan patuhi. (Mengenai komunikasi produktif itu, akan kita uraikan di pokok bahasan yang lain. Insya Allah)

Peraturan-peraturan ini biasanya diucapkan dan disepakati bersama setiap akan memulai belajar di sentra. Tidak harus sama persis setiap harinya. Mungkin dari pengalaman bermain di hari sebelumnya, anak-anak menemukan aturan lain yang mereka anggap perlu, hal itu bisa saja terjadi. Dan seyogyanya guru menghargai pendapat tersebut selama tidak bertentangan dengan aturan umum.

PERAN GURU SENTRA

  • Guru sentra bukan menjadi center atau pusat ilmu pengetahuan sedang anak hanya menjadi pendengar dan pemerhati apa yang disampaikan oleh guru. Tapi guru sentra lebih berperan sebagai seorang observer dan motivator sedang anak lebih aktif menjelajah, bereksplorasi dan menemukan sendiri pengalaman belajarnya
  • Guru harus memahami tahap-tahap perkembangan anak. Apa yang normal bagi mereka dan apa yang tidak normal. Apa yang mereka bisa dan apa yang tidak bisa. Apa yang mungkin mampu mereka lakukan atau yang tidak. Apa yang bisa diharapkan dari anak. Dan bagaimana mengatasi berbagai gaya belajar, berbagai jenis kecerdasan dan berbagai kecenderungan lain dari anak.
  • Guru harus datang lebih awal untuk bisa bertemu dengan anak didik yang datang terlebih dahulu. Guru bisa memanfaatkan waktu ini untuk lebih mengenali anak didiknya. Selain itu, guru juga bisa melakukan pengecekan kesiapan mengajarnya.
  • Guru harus memiliki aturan main untuk masing-masing sentra. Materi dan kelas harus merangsang anak untuk menjelajahi, memanipulasi dan menyelidiki yang sesuai dengan keinginan, bakat  dan minat anak. Struktur sentra harus mendorong rasa ingin tahu anak.
  • Guru mengatur ruangan dan jadwal untuk satu hari atau satu pekan. Diskusikan aturan / batasannya, rutinitas dan masa transisi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Biarkan materi dan anak melakukan pembelajaran, sementara guru memberikan kata-kata dorongan, pertanyaan, dukungan moral, pemahaman dan mendengar aktif.

Satu hal lagi yang perlu diingat, bahwa kesuksesan belajar bukan diukur oleh bagaimana HASIL BELAJAR, namun lebih mengacu pada PROSES BELAJAR dari anak-anak tersebut.